Sabtu, 02 Februari 2013

Naskah Drama Satu Babak


Balajar Matimatika
Oleh : Marny Rustina

Tokoh-tokoh:             1. Ririn    : anak perempuan kelas 2 SD
                                 2. Tami    : anak perempuan kelas 5 SD, kakak Ririn
                                3. Any     : wanita sekitar 35 tahun, saudara sepupu Ririn dan Tami
                       4. Julak    : wanita berusia sekitar 57 tahun, ibunya Any       

Properti panggung:
1.     Televisi + remote
2.     Meja belajar
3.     Seperangkat sofa
4.     Buku-buku dan alat tulis
5.     Karpet
6.     Piring berisi kue basah

Setting :  Suatu sore di sebuah ruang keluarga, Ririn duduk lesehan di atas kapet di lantai. Di depannya terdapat buku Matematika dan buku tulis. Tangan kanannya memegang sebuah pensil. Tami duduk di kursi belajar di sudut kanan ruangan sedang tekun mengerjakan PR, sesekali menggigit ujung pulpennya.

              (Kemudian Any masuk, mendekati Tami)
Any        : (tangan basah digosok-gosokkan ke baju daster) “ Lagi manggawi apa ikam, Mi?”
Tami       :(Menggaruk kepala) Tugas IPA ka’ai”.
Any        : “ Kaya apa tadih, kawa haja lah manjawapi sualnya?” (memperhatikan lembar-lembar jawaban, menelitinya dengan jari)
Tami       : (tersenyum) “Kawa haja”

              (Any menengok Ririn, kemudian beringsut mendekatinya, dan duduk di depan Ririn)
Any        :” Ikam pang manggawi apa?”
Ririn       :” Matimatika!”
Any        :” Malihat pang gawian ikam!”
              (Ririn menyerahkan bukunya, sambil menggeliat)
Any        : “ Numur satu bujur….. numur dua bujur ……. Numur tiga… nah balum bujur Rin’ai. Ayu kita hitung pulang….”(menyerahkan buku tulis  kembali kepada Ririn)
               “ dua ratus lima puluh di kurang saratus lima balas. Barapa.”
              (Ririn mencoret-coret kertas hitung).”
Any        : “ Nul kurang lima tu, nul nya kita tambahi lawan puluhan di subalahnya,  jadi barapa?”
              (Ririn mengernyitkan dahi), “ Kada tahu!”
Any        :” Ini nah, lima dihiga nul ini amun dibaca lima puluh kalu. Amun nul haja dikurangi lima kada kawa, jadi nang lima puluh kita ambil sapuluh dahulu. Sapuluh dikurang lima barapa?”
Ririn       :” Lima” (mengangkat tangan kirinya, dengan melebarkan jari-jarinya)”
Any        “ Bujur. Lalu nang lima puluh tadi sudah kita kurangi sapuluh, jadi tinggal barapa?”
Ririn       :(terdiam sejenak) “ ampat puluh.”
Any        :” Pintar!”( Tiba-tiba berdiri)” Hadang dahulu, banyu jaranganku manggurak.” ( keluar ruangan)

Julak masuk, membawa sebuah piring berisi kue basah.

Julak       :” Ni ambil Rin wadai sabuting.” (mendekatkan piring kepada Ririn. Ririn mengambil sepotong kue dan memakannya)
Julak       : “ Nah Mi, ambil.” (menyodorkan piring kepada Tami. Tami mengambil sepotong dan memakannya.”

Julak duduk di sofa menghadap televisi yang tidak dihidupkan)
Tami       : (berdiri dari kursinya, melangkah sambil menggeliat-geliat mendekati Julak, lalu duduk di sampingnya).” Julak, tvnya ulun hidupi lah!”
Julak       :” Tuntung lah sudah PR ikam!”
Tami       :” Sudah Julak’ai.”
Julak       :” Ayuja, tapi bagigimit haja suaranya. Ririn balum tuntung pinanya. Iya lah Rin?” ( Melihat kea rah Ririn).

Tami mengambil remote TV di atas sofa, kembali duduk di samping Julak. Memencet-mencet tombol remote

Ririn memandang Julak sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian melanjutkan hitungannya.

Any masuk menghampiri Ririn

Any        : “  Sudah tuntung lah Rin?” ( menarik buku tulis. Kemudian mengangguk-anggukkan kepala). “ Nah Pas sudah. Soal nang lain sudah bujur jua jawabannya.” (menyerahkan buku tulis kembali kepada Ririn)

Ririn menutup buku dan memasukkannya ke dalam tas.
Any        :” Tadi pang ikam belajar apa Rin?”
Ririn       :” Matimatika tadi belajar gambar sagi ampat, parsagi panjang,  sagi tiga,  lawan lingkaran.” (bersemangat).
Any        : (Menyerahkan selembar kertas kosong).” Nah, gambarakan, sagi ampat nang kaya apa?”

Ririn mengambil penggaris di meja belajar kemudian kembali duduk di lantai, mulai menggambar. Beberapa waktu kemudian dia serahkan kertas kepada Any.

Any        : “ Iyaaaa. Pas…, gambarakan lingkaran pulang.”

Ririn bingung

Tami       :” Pakai duit Rin’ai!” (mengambilkan uang logam di kantongnya dan melemparkannya kepada Ririn) “ Tanggap!”

Julak       : “ Hati-hati”

Ririn       : “ haaaa!”( menangkap uang logam yang dilemparkan)

( Menggambar lingkaran dengan menggunakan uang logam)

Any        :” Bujur kaya itu. Bulih haja pakai duit, atawa pakai tutup botol, pakai cangkir.” Naaaaah, pahabisan nah. Gambarakan segi tiga sama kaki.”

(Ririn agak membungkukkan badannya sambil menggambar menggunakan penggaris.  Kemudian mencoret-coret sesuatu,  tangan kirinya menutupi coretan yang sedang dibuat. Lalu gambar diserahkannya lagi kepada Any)

Any        : ( mengamati gambar sambil bingung) “ Ini bujur segi tiga, tapi ini segi tiga sama sisi. Nang di subalahnya ini gambar apa Rin?”
Ririn       : (sambil tersenyum).” Gambar batis Ka’ai. Pian tadi manuruh manggambar sagi tiga lawan batis kalu?”

Any, Tami, Julak : “ hahahahaha…..

Julak       : “ Ikam jua Any ai. Urang hanyar balajar sagi tiga, balum balajar nang sama kaki lawan sama sisi.”

Tami       :Umay Ririn….Ririn…..

Julak       : “ Bau apa nih?” (mengendus-endus)

Tami, Ririn, Any  mengendus-endus

(Any bergegas ke luar sambil setengah berteriak )
Any        : “ Sangaan iwak uluuuuuuuun.”

Tami       :” bisa makan kada baiwak kita malam ini.”
Ririn       :” hehehe…..” (menggaruk kepala)

Tami dan Ririn mengikuti ke luar

Julak mematikan TV, kemudian keluar.

********

Sinopsis Novel


LELAKI LEBAH
Pengarang: Mahmud Jauhari Ali
Penerbit    : Tuas Media
Tahun        : 2011

Novel Lelaki Lebah bercerita dengan indah, tentang kehidupan masyarakat di daerah Kalimantan. Tentang sosok pemuda piatu bernama Hafiz, keturunan asli Dayak Bakumpai, Kalimantan Selatan. Karena profesinya sebagai PNS,  Hafiz harus rela merantau ke Palangkaraya, meninggalkan tanah kelahiran dan ayahnya yang menderita stroke. Untungnya, ada Hafira sepupunya  yang ikhlas dan telaten menggantikan posisinya merawat ayah tercintanya.

Masalah demi masalah mulai timbul. Pertama saat Hafira akan menikah dan harus ikut suaminya ke Samarinda. Hafiz kesulitan mencari orang yang membantu merawat ayahnya  Gajinya pas- pasan dan dia tidak ingin sembarangan mencari perawat. Dia menginginkan orang yang sudah dikenal, atau minimal ada yang merekomendasikan. Akhirnya dia menemukan orang yang mau melayani ayahnya, yaitu Bu Romlah teman ayahnya sewaktu muda dulu.

Masalah datang lagi saat tiba- tiba ayahnya terkena usus buntu, dan harus dioperasi dengan biaya yang tidak sedikit. Gaji Hafiz yang pas-pasan terpaksa harus dipotong untuk membayar utang. Akhirnya Hafiz bekerja sebagai kuli bangun di hari Minggu untuk menambah penghasilan.  Keputusan ini ditentang keras oleh Carmen dan Mariana. Ternyata dua gadis cantik dan kaya yang diam- diam menaruh rasa pada Hafiz. Tapi sebaliknya, Latifah gadis manis yang dia kenal dalam perjalanan dari Banjarmasin justru mendukung dan juga tak segan membantunya. Pertolongan Allah datang  melalui orang- orang baik di sekitarnya. Kantor tempatnya bekerja bersedia meminjamkan uang tanpa bunga. Hingga ayahnya dapat diselamatkan.

Kebaikan hati Latifah dan pengertiannya tentu saja menambah semangat Hafiz, dan membuatnya  terpikat pada Latifah. Hafiz tidak ingin terjatuh dalam maksiat, dan dengan mantap dia meminang Latifah untuk menjadi istrinya.  Tanpa dia duga, ternyata Latifah tidak mengetahui siapa ayah ibu kandungnya. Dia ditemukan seorang nenek penjual kerajinan tangan khas suku dayak Ngaju. Latifah juga telah  berstatus janda. Dia menikah karena sebuah perjodohan. Sementara itu suaminya adalah seorang pemabuk dan suka hura-hura. Akhirnya Latifah diceraikan suaminya. Hafiz sempat ragu untuk melanjutkan hubungan ke jenjang perkawinan karena impiannya sejak remaja ingin menikahi seorang gadis, bukan janda. Tapi akhirnya diputuskannya untuk tetap menikahi Latifah. 

Akhirnya pernikahan berjalan dengan sukses. Hafiz daan Laatifah hidup baahagia sebagai sepasang suami istri. Mereka sedang menjalani napak tilas pertemuan dan perkenalan mereka.

Sinopsis Novel


RUMAH DEBU
Pengarang : Sandi Firly
Penerbit     : Tahura Media
Tahun        : 2010

Novel berawal dengan perjalanan tokoh Rozan dari Martapura ke Kota Rantau. Perjalanannya dihiasi dengan debu jalanan, kemacetan, dan hingar-bingar suara truk batubara. Dia dikirim untuk menjadi guru di sebuah pesantren setelah menamatkan pendidikan di pesantren Martapura. Rozan adalah seorang remaja yang cakap terhadap teknologi komunikasi. Dia sering mencari informasi tentang lingkungan hidup lewat internet.   Rozan merasa kurang nyaman dengan aktivitas pertambangan batubara yang membuat rumah-rumah berdebu dan rusaknya lingkungan hidup. Apalagi ia harus selalu waspada di jalan raya karena ulah supir-supir truk batubara yang ugal-ugalan di jalanan. Kemudian konflik-konflik yang terjadi di masyarakat, masalah pertikaian para preman yang memperebutkan uang jatah keamanan truk-truk yang melalui kawasan yang dikuasai mereka, termasuk uang santunan bagi keluarga yang anggota keluarganya tewas tertabrak truk batu bara. Pertikaian itu kadang membawa korban jiwa.

Rasa dendam Ibu Diyang kepada suaminya, Pak Ismail  yang kawin  lagi tanpa pengetahuannya membuat ibu Diyang menceritakan tentang siapa Rozan sesungguhnya, sehingga hal itu menyakiti perasaan Rozan. Ibu Diyang baru saja mengetahuinya dalam 1 bulan sedangkan perkawinan itu sudah berlangsung hampir 10 tahun. Ternyata isteri kedua Pak Ismail adalah Sarah Hidayati yang sekarang tinggal di Yogyakarta, ibu kandung Rozan. Guru Aran dan ibu Marhamah yang selama ini dikenalnya sebagai orang tuanya ternyata hanya orang tua angkat. Ibu Diyang menjadi dalang yang merubah hidup Rozan dan membawa kepada  pembongkaran segala rahasia riwayat hidupnya yang tersimpan kukuh oleh Guru Aran. Guru Zaman, Ibu Marhamah, Zahra dan Sarah sendiri. Rahasia  yang tersimpan begitu kukuh selama 16 tahun hanya dalam beberapa bulan diketahui mudah oleh Ibu Diyang melalui siasatnya.
Sarah adalah seorang santri di pesantren Guru Aran. Dia diperkosa oleh Jantra ketika  masih berusia muda. Jantra kemudian lari meninggalkan tanggung jawab, sehingga Sarah hamil sampai melahirkan Rozan harus menghadapi pahit getir kehidupan sendiri. Akhirnya bayi Rozan diletakkan di depan rumah guru Aran agar diadopsi. Sementara itu Sarah minggat  ke Yogyakarta. Zahra adalah teman dekat Sarah yang membantu persalinan dan yang meletakkan bayi Rozan di depan rumah Guru Aran. Zahra selama ini selalu memantau perkembangan Rozan dan mengabarkannya kepada Sarah.
Pada saat  Sarah pulang ke Martapura untuk menemui Guru Aran dan menemui Rozan, Rozan diculik oleh orang-orang suruhan Ibu Diyang. Dia disekap di sebuah rumah tua. 
Sementara itu terjadi perkelahian antara Udin Tungkih, preman suruhan Ibu Diyang dengan Jantra, preman suruhan Pak Ismail. Perkelahian sementara berakhir dengan larinya Udin Tungkih. Dia lari dan sembunyi di rumah tua tempat Rozan disekap. Ternyata Jantra mengikutinya sampai ke tempat itu. Perkelahian terjadi lagi di rumah itu, hingga akhirnya Jantra roboh. Udin tungkih dan teman-temannya diringkus polisi. Jantra di bawa ke rumah sakit dengan ambulan. Di mobil ambula tersebut ada Guru Zaman, Rozan, Sarah, dan Zahra. Akhirnya Rozan mengetahui siapa ayah kandungnya.