PERKEMBANGAN BAHASA DAN SASTRA BANJAR
Bahasa dan sastra lisan Banjar pernah tumbuh berkembang dengan baik, bahkan mampu bertahan hingga berabad-abad
lamanya. Bahasa dan sastra lisan selalu disampaikan dari mulut ke mulut oleh
satu generasi kepada generasi berikutnya. Sastra lebih berperan sebagai sarana
pengajaran atau media pewarisan nilai-nilai budaya ketimbang sebagai hiburan,
meski fungsi yang terakhir ini juga tidak terabaikan sama sekali oleh karena
kehadirannya memang saling mendukung. Pada masa itu, para orang tua mengajarkan
etika, ilmu, dan agama melalui simbol-simbol yang tersusun dalam rangkaian
cerita maupun petatah-petitih dan ungkapan budaya lainnya (baik dalam bentuk
puisi maupun prosa), dengan cara-cara yang menyenangkan kepada anak-anak
mereka. Situasi pengajaran semacam itu bisa berlangsung secara kolektif dalam suatu
pesta rakyat (semisal melalui tradisi bakisah, mamanda, madihin,
balamut, atau japin carita) maupun secara individual di
lingkungan keluarga masing-masing (misalnya dalam tradisi basair dan bakisah
(khususnya dongeng pengantar tidur).
Namun, seiring dengan masuknya peradaban modern yang
antara lain ditandai dengan perkembangan tradisi baca-tulis bahasa Indonesia dan
semakin mantapnya bangunan keberaksaraan, perkembangan Bahasa
dan Sastra Banjar kurang lebih sama dengan perkembangan bahasa dan sastra daerah
pada umumnya. Kondisinya cenderung terpinggirkan, bahkan nyaris terlupakan. Tercapainya kesatuan dan persatuan bangsa seakan mengarah pada
penyeragaman ke dalam ke-Indonesiaan.
Tantangan utama dalam perkembangan bahasa dan sastra
Banjar adalah perkembangan peradaban yang kian pesat tanpa kontrol yang mampu
menyeimbangkan masukan dari luar. Westernisasi dan modernisasi merupakan faktor-faktor
yang dapat mengakibatkan terkikisnya bahasa dan sastra Banjar. Masuknya budaya
luar dengan beragam bahasa dan keunikan budayanya masing-masing, perlahan tapi
pasti mulai mengakar dan akhirnya menggeser muatan budaya lokal. Pergeseran pemakaian bahasa Banjar tidak bisa dipungkiri telah terjadi
dengan pemakaian bahasa
gaul dan bahasa Inggris di masyarakat Banjar, terutama di kalangan remaja
perkotaan, sekarang malah sudah merambah ke masyarakat di daerah pesisir maupun
di daerah pedesaan Provinsi Kalimantan Selatan.
Tetapi patut disyukuri bahwa bahasa dan sastra lisan
Banjar sebagai salah satu khazanah daerah yang sangat kaya dan merupakan
warisan budaya yang tak ternilai harganya kondisinya masih belum kritis. Dalam
arti, eksistensinya masih dirasakan sampai sekarang. Sastra Banjar bukanlah
sastra daerah yang perkembangannya paling menonjol dan bukan pula yang paling
terbelakang. Sebab, pada satu sisi, dalam berbagai perbincangan tentang sastra
daerah selama ini (lebih-lebih jika pembahasan itu sudah menyentuh sastra
modernnya), maka sastra Banjar, Sunda, dan Bali merupakan sastra-sastra daerah
yang paling sering dibicarakan. Pada sisi lain, eksistensi sastra daerah
lainnya yang jumlahnya begitu besar hampir tak pernah kita dengar gaungnya.
Karena Banjar terlalu lama dipengaruhi
oleh budaya lisan. Budaya lisan telah melahirkan tradisi-tradisi lisan lain
yang berurat berakar. Sehingga jika ada
tangan-tangan kreatif generasi muda yang menyentuh bahasa dan sastra lisan Banjar,
masih besar harapan ke depan bahasa dan sastra Banjar akan kembali eksis dan
lebih bermanfaat baik di kalangan masyarakat Banjar itu sendiri maupun
masyarakat Indonesia bahkan internasional (Insya allah).
Pementasan mamanda adalah salah
satu cara untuk mempertahankan eksistensi pemakaian bahasa Banjar dan pelestarian sastra lisan banjar. Begitu
juga halnya dengan Lamut dan Madihin. Kita perlu optimis dengan banyak strategi
yang telah dilakukan pemerintah daerah, sastrawan, dan masyarakat yang peduli
dengan eksistensi bahasa dan sastra Banjar. Dengan berbagai perhelatan
bernuansa bahasa dan sastra Banjar, lomba-lomba, bahkan kurikulum muatan local
yang memuat budaya, bahasa, dan sastra Banjar, di masa yang akan datang bahasa
dan Budaya Banjar masih akan tetap bertahan dan terjaga kelestariannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar